Boleh percaya boleh tidak,
sebagian besar masyarakat Indonesia masih percaya dengan yang namanya ramalan,
bahkan tidak sedikit orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai peramal dan
berusaha meraup materi dari profesinya tersebut. Ramalan biasanya akan dikenal
dan dipercaya apabila ramalan itu terbukti kebenarannya, jika tidak maka hanya
akan dianggap omong kosong belaka. Dari banyaknya ramalan yang beredar di
masyarakat, ramalan Joyoboyo adalah yang paling dipercaya dan paling banyak
dijadikan rujukan. Siapakah sebenarnya Joyoboyo sehingga ramalannya banyak
diperhitungkan orang? Apakah peristiwa akhir-akhir ini juga bagian dari ramalan
Joyoboyo?
Raja Linuwih
Joyoboyo adalah seorang raja
dari Kerajaan Kediri yang memerintah sekira tahun 1135-1157. Gelar lengkapnya
adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana
Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Ia merupakan keturunan
langsung Prabu Airlangga, penguasa tertinggi di Kerajaan Kahuripan yang
merintah pada pada tahun 1019-1042. Selama ia memerintah, Kerajaan Kediri
mengalami masa keemasan dimana Joyoboyo berhasil menyatukan Jenggala kembali ke
Kediri. Kemenangan Joyoboyo atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan
Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh tahun 1157.
Torehan-torehan
mistik filosofis Raja Joyoboyo sangatlah terkenal, meski begitu Joyoboyo jelas
bukanlah Naisbitt (Megatrend 2000) yang terkenal dengan pandangan visionernya
tentang masa depan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Ia juga tidak bisa
disandingkan dengan Alvin Tofler (The Third Wave) dengan teori kejutan
gelombang perubahan zaman. Joyoboyo sangat berbeda dengan para futurolog yang
mendasarkan visinya dalam menjelajah masa depan berlandaskan data-data empiris.
Joyoboyo jelas tidak mempunyai dan menggunakan data-data tersebut untuk
menerangkan kejadian-kejadian masa yang akan datang. Namun, tidak bisa
dipungkiri banyak kejadian atau peristiwa dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah diungkapkan oleh ramalan
Joyoboyo meski tersamar atau melalui lambang.
Ramalan Ketujuh Joyoboyo
Istilah Notonogoro adalah
salah satu ramalan Joyoboyo yang sangat terkenal. Terminologi ini memprediksi
siapa-siapa saja yang akan memimpin nusantara. Notonogoro bukanlah nama
seseorang melainkan simbolisasi penamaan bagi pemimpin nasional (Presiden).
Notonogoro dipisahkan menjadi No-To-No-Go-Ro yang selanjutnya diawali oleh “No”
Sukarno, “To” Suharto, dan seterusnya. Sayang, selepas Presiden Suharto belum
ada lagi nama Presiden Indonesia yang nyangkut dalam ramalan ini baik Habibie,
Megawati, maupun Abdurahman Wahid (Gusdur) kecuali “No” untuk Susilo Bambang
Yudhoyono. Apakah Habibie, Megawati, dan Gusdur hanya sekadar Pemimpin transisi
dan tidak masuk dalam Notonogoro? Kalau iya, bisa jadi hal ini benar mengingat
ketiganya tidak genap lima tahun dalam memimpin bangsa ini. Selanjutnya,
siapakah gerangan “Go” yang akan menjadi RI 1? Atau “Go” akan muncul kemudian
setelah adanya pemimpin-pemimpin transisi yang lain? Kita tunggu saja.
Selain memprediksi
kepemimpinan nasional, Raja Joyoboyo juga meramalkan perjalanan bangsa ini
melalui bahasa-bahasa simbolik. Ada enam ramalan yang telah terjadi dan
terbukti kebenarannya, yaitu pertama, Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong. Noyo
Genggong dan Sabdo Palon adalah nama abdi dalem Kerajaan Majapahit, sedangkan
murca berarti musnah, artinya runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kedua, Semut Ireng
Anak-anak Sapi (Semut hitam anak-anak Sapi), artinya Belanda datang ke
Indonesia dan menjajah negeri ini. Ketiga, Kebo Nyabrang Kali (Kerbau
menyeberang sungai), artinya Belanda kenyang dan hengkang dari Indonesia.
Keempat, Kejajah Saumur Jagung Karo Wong Cebol Kepalang (dijajah seumur jagung
oleh orang cebol) ini zamannya Indonesia dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun.
Kelima, Pitik Tarung Sak Kandang (Ayam bertarung satu kandang) artinya perang
saudara zaman Bung Karno. Keenam, Kodok Ijo Ongkang-ongkang (Kodok hijau
berkuasa) ini eranya tentara berkuasa pada saat Soeharto menjabat sebagai Presiden.
Sedangkan ramalan yang ketujuh adalah Tikus Pithi anoto baris (Tikus
Pithi menata barisan). Apa makna dari ramalan ketujuh Joyoboyo ini?
Budayawan
Sujiwo Tejo dalam tulisannya “Waspadai Ramalan Ke-7 Joyoboyo” Kompas
(24/4/2009) mentafsirkan ramalan ketujuh Joyoboyo “Tikus Pithi anoto baris”
sebagai barisan pemberontakan rakyat nusantara dari berbagai penjuru. Geger
tahun 1998 yang melengserkan Presiden Soeharto dianggapnya belum merata dan
bisa dikatakan hanya pecah dibeberapa kampus, DPR/MPR, Glodok dan beberapa
tempat di Jakarta. Situasi akan jauh berbeda dibandingkan berkobarnya api tikus
pithi anoto baris yang sekamnya kini mulai rantak membara di seluruh Nusantara
karena cekcok pemilu legislatif. Tapi itu adalah tafsir di tahun 2009 yang
telah berlalu. Bagaimana dengan situasi akhir-akhir ini?
Tikus Pithi Korupsi Indonesia
Tikus
saat ini adalah simbol dari korupsi. Sifat Tikus yang suka mencuri, gesit,
rakus, kotor, bau, dan membawa penyakit sama persis dengan sifat koruptor yang
tidak tahu malu, rakus, dan suka mencuri uang negara. Apabila Tikus dalam
ramalan ketujuh Joyoboyo “Tikus Pithi anoto baris” dimaknai sebagai korupsi,
maka bisa jadi benar ramalan tersebut mulai digenapi akhir-akhir ini.
Tanda-tanda
ramalan ketujuh Joyoboyo mulai digenapi tampak terlihat pada banyaknya
kasus-kasus mega korupsi yang menggurita di negeri ini. Selain itu, hilangnya
rasa malu para pelaku korupsi dan serangan balik koruptor (corruptors fight
back) yang ditujukan untuk melemahkan lembaga penegak hukum yang menangani
korupsi, dalam hal ini KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan adalah tanda-tanda yang
tak terelakkan. Tapi apakah itu merupakan klimak dari ramalan ini? Tentu saja
tidak, akan ada goro-goro di mana keadaan bangsa ini tidak lagi normal, adanya
kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kekuasaan, dan peristiwa-peristiwa yang
akan mengingatkan bangsa ini untuk kembali ke jalan yang benar. Setelah
goro-goro, akan ada perang tanding antara Satria Pembela Kebenaran dengan
musuhnya (Si Jahat) yang tentu saja akan membawa korban.
Saat ini Indonesia di bawah
pemerintahan Presiden SBY sedang diuji dengan sangat hebat oleh maraknya kasus
korupsi, namun dari banyaknya kasus korupsi yang ada, kasus Sesmenpora adalah
kasus yang paling banyak menguras energi karena melibatkan M Nazaruddin,
koleganya di Partai Demokrat. Ada dilema yang nampak tersirat, ada
kehati-hatian, dan ada banyak teka-teki yang tak terungkap. Wajar, kasus ini
bak pedang bermata dua yang siap menusuk keluar dan ke dalam Partai berlambang
mercy ini. Selain itu, perhatian rakyat Indonesia juga sedang tertuju pada
kasus ini karena menyangkut komitmen SBY dan Partai Demokrat yang gencar dengan
slogannya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Atas
kasus ini, Partai Demokrat harus terpuruk karena mulai banyak ditinggal
pendukungnya (Survei LSI, 12/6/2011). Seperti diketahui, Nazaruddin merupakan
Bendahara Umum Partai Demokrat dan pada 30 Juni 2011 KPK telah meningkatkan
statusnya dari saksi menjadi tersangka. Persoalan tidak cukup sampai disitu,
Nazar kabur dari Indonesia dan dari tempat persembunyiannya dia terus
membongkar borok Partai Demokrat melalui BlackBerry Messenger (BBM) dan
menyeret rekan-rekan separtainya seperti Andi Malarangeng (Menpora), Angelina
Sondak (Anggota DPR), Mirwan Amir, dan Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai
Demokrat) yang disebut-sebut terlibat dalam kasus Sesmenpora dan menerima
aliran dana haram. Terang saja informasi tersebut menggemparkan publik
Indonesia dan langsung merusak citra Partai yang terkenal antikorupsi ini, meski
para pihak yang dituduh menyangkalnya.
Nazaruddin
bukanlah orang sembarangan, dia pernah menduduki posisi elit Bendahara Umum di
partai besar sekelas Demokrat, tentunya dia tahu seluk beluk dan rahasia dapur
Partai Demokrat. Selain itu, sampai saat ini buronan Interpol ini juga masih
menjadi anggota DPR aktif. Sehingga tidak berlebihan jika O.C. Kaligis sebagai
pengacaranya dalam suatu kesempatan berujar “Jika Nazaruddin buka semua,
republik ini akan goncang“. Namun lebih baik negara ini goncang sejenak asalkan
hukum ditegakkan di negeri ini karena belum ada sejarahnya sebuah negara hancur
karena menegakkan hukum dan kebenaran yang ada justru negara hancur karena
korupsi, seperti yang terjadi di Romawi, Babilonia, dan Uni Soviet yang hanya
mampu bertahan selama 70 tahun. Hal itu terjadi karena negara tersebut gagal
memberantas korupsi yang merasuk tokoh-tokoh pemerintah dan birokrasi negara.
“Tikus Pithi Anoto Baris“, bisa jadi
Nazaruddin adalah aktor dari goro-goro ramalan ketujuh Joyoboyo ini. Sekarang
perang opini sudah ditabuh, saling serang, saling membuka aib, menguji
kebenaran versi masing-masing. Tapi semua itu harus segera berakhir, jangan
sampai rakyat marah dan akhirnya mendorong angkatan muda untuk keluar dan
menyusun barisannya seperti yang pernah ditafsirkan Sujiwo Tejo. Namun lebih
dari itu, sebagai orang timur, sebagai bangsa yang adhiluhung, ada baiknya kita
merenungkan petuah bijak berikut "Bejane sing lali, bejane sing eling,
nanging isih beja sing waspadha" artinya "Beruntung bagi yang lupa,
beruntung bagi yang ingat, namun masih lebih beruntung bagi yang waspada".
Semoga peristiwa akhir-akhir ini adalah peringatan yang terbaik bagi kita untuk
senantiasa peduli dan waspada, telebih waspada dengan serangan balik koruptor
karena bukan tidak mungkin ia akan kembali dan menghancurkan impian kita akan
Indonesia yang bebas dari korupsi.
Komentar
Posting Komentar