SUDAH saatnya kaum muda bicara! Lalu
mengambil langkah, dan secepatnya melakukan tindakan nyata untuk menjawab
tantangan kaum tua tentang apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa dan
kebudayaan kita.
Sudah selazimnya, kaum muda bergerak
gesit dan dinamis. Tingkah lakunya seringkali diperhatikan dan dianggap
penting. Mungkin karena ada istilah bahwa masa depan bangsa ada di tangan
generasi muda. Dalam berbagai aspek, mereka dituntut untuk menjadi konseptor,
juga pelopor. Kaum muda mempunyai cara khas, dan independen, dan tak perlu
menunggu sokongan lembaga pemerintahan ketika menumbuhkan dan menjaga rasa
bangganya terhadap kebudayaan lokal
Menyoal rasa bangga pada budaya,
saya ingin sedikit menyinggung realita di kalangan muda. Seiring globalisasi,
kebanyakan remaja cenderung menggandrungi budaya luar. Hal ini semakin
mengental didukung media massa yang ikut menjadi promotor trend. Belakangan,
misalnya, sebagian kalangan remaja terjangkit “demam K-pop” alias mengidolakan
“Boy and Girl Band” asal Korea, termasuk artisnya yang unyu-unyu.
Selain hapal lagu dan gerakan
tarinya, akhirnya sebagian kalangan muda ini, juga penasaran dengan bahasa,
cara berpakaian, dan kebiasaan lainnya di Korea. Dari penasaran, berlanjut pada
keinginan mempelajari budaya negeri asal ginseng itu. Fakta ini menjadi ironis
ketika para remaja itu ditanya tentang bahasa daerahnya sendiri: mereka hanya
bisa nyengir sambil garuk-garuk
kepala.
Namun tak usah menjadi pesimis. Di
luar sana, masih banyak kelompok pemuda yang berpikiran sebaliknya, sayangnya
mereka belum banyak terjamah media. Bagaimana bisa anak muda terlihat gaul dan
keren tanpa menanggalkan identitas budayanya? Jawabannya: bisa!
Salah satunya dibuktikan sekelompok
mahasiswa muda Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terhimpun dalam bisnis
kreatif bernama “Lazuli Sarae”. Beberapa waktu lalu, mereka didaulat sebagai
pemateri dalam seminar kepemudaan yang diselenggarakan salah satu media cetak
nasional. Dimulai dengan menyatukan passion,
diteruskan dengan modal nekat dengan rintisan yang independen, jadilah sebuah
rintisan bisnis pakaian yang mengusung tema batik denim.
Nama “Lazuli Sarae” sendiri berasal
dari dua bahasa yang dikolaborasikan. “Lazuli” berasal dari bahasa Prancis,
“Lazhward” yang berarti biru. Kata kedua, yaitu “Sarae” adalah kata bahasa
Sunda yang berarti bagus. Sesuai dengan namanya, mereka menyimbolkan batik
sebagai produk lokal, simbol tradisional ketimuran. Sedangkan denim mewakili
kultur modern barat. Ini sesuai dengan tag-linenya,
”Local Value, Modern Spirit.”
Mengutip sebuah artikel yang ditulis
Ivan Kurniawan, salah satu penggagas, bahwa tercetusnya ide bisnis kreatif ini
bermula ketika ia bersama rekannya, Maretta Astri Nirmanda mengikuti ajang
kontes rencana bisnis kreatif di Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2010.
Rupanya modal nekatnya berbuah manis. Konsep bisnis Lazuli Sarae mereka keluar sebagai runner up dalam ajang kreatif tersebut. Mereka pun akhirnya
memutuskan untuk mengeksekusi Lazuli Sarae
menjadi sebuah bisnis nyata.
Mereka melakukan proses pembatikan
pada bahan denim, sehingga menghasilkan tekstur baru. Warna biru denim
mendominasi dan kain batik tentunya dilukis secara manual dan tradisional.
Jadilah sebuah produk pakaian yang keren dan sesuai selera anak muda. Yang tak
kalah penting, strategi promosi dan publikasi hasil karya dilakukan melalui
cara-cara modern, di antaranya via
on-line. Sepakat, alternatif promosi melalui sistem online menjadi pilihan cerdas dalam menyebarluskan produk budaya
kepada warga dunia. Karena, tradisional bukan berarti kuno dan tua.
Di situasi global ini, dimana berbagai kebudayaan saling berbaur dan bergerak dinamis, para pemuda dituntut tampil spesial, berbeda,dan tetap bangga dengan ciri khas budayanya. Kaum muda harus merasa beruntung, karena Indonesia memiliki kekayaan budaya yang banyak dan beragam.
Bekal utamanya tiada lain, yakni
rasa percaya diri. Tinggal kita yang memilih, mau melupakan dan ikut ikutan
zaman modern yang tak keruan ini, atau sebaliknya, menunjukkan sikap bangga
lalu mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Membuktikan kepada orang tua,
tetangga, dan juga dunia.
Pemuda berkuasa atas tindakannya. Mari kita bergerak untuk
identitas kita, agar tak kehilangan jati diri. Ayo! Kita layak menjadi pusat
perhatian dunia.[]
“ Penulis
adalah mahasiswa Jurusan Jurnalistik semester VI Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung.”
Komentar
Posting Komentar