Apa
itu yang di maksud “Human trafficking” ?
Perdagangan manusia
adalah perdagangan ilegal manusia untuk tujuan reproduksi perbudakan,
eksploitasi seksual komersial, kerja paksa, atau bentuk modern-hari perbudakan.
Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama
Perempuan dan Anak (juga disebut sebagai Protokol Trafiking) diadopsi oleh PBB
di Palermo, Italia pada tahun 2000, dan merupakan perjanjian hukum
internasional yang melekat pada Konvensi PBB Kejahatan Terorganisir
Transnasional. Protokol Perdagangan adalah satu dari tiga Protokol diadopsi
untuk melengkapi Konvensi.
Protokol adalah global
pertama, instrumen yang mengikat secara hukum tentang perdagangan di lebih dari
setengah abad dan satu-satunya yang menetapkan definisi yang disepakati
perdagangan orang. Tujuan dari Protokol ini adalah untuk memfasilitasi
konvergensi dalam kerjasama nasional dalam menyelidiki dan menuntut perdagangan
orang. Tujuan tambahan dari Protokol adalah untuk melindungi dan membantu
korban perdagangan orang dengan menghormati sepenuhnya hak asasi manusia
mereka. Protokol Perdagangan mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:
Human trafficking
adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang,
dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya,
penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan
atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain
atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau layanan paksa, perbudakan
atau praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.
Menurut sebuah survey
yang dilakukan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia
milik Amerika Serikat, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki,
perempuan dan anak-anak diperkirakan menyeberangi perbatasan-perbatasan
internasional dan sampai saat ini masih terus berkembang. Sebagian dari
orang-orang ini memang sengaja diselundupkan dengan tujuan memasok pasar
perdagangan seks internasional dan buruh serta dilakukan melalui jaring
kejahatan internasional (transnational crime) yang terorganisasi secara rapi,
baik melalui jalur Negara perantara maupun langsung.
Daerah-daerah yang
memasok terbesar kasus trafficking (perdagangan orang) tersebar di tanah air.
Suatu data menyebutkan bahwa sedikitnya 80 persen dari 8000 kasus trafficking
sejak tahun 2004 melibatkan korban asal warga Subang, Karawang, Cianjur, dan
Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Akibat dari besarnya kasus tersebut,
kemungkinan besar Indonesia terancam dicoret dalam daftar Negara yang berhak
mendapatkan jatah bantuan kemanusiaan dari PBB.
Trafficking
(perdagangan orang) umumnya terjadi pada kasus-kasus pengiriman TKI ke luar
negeri. Untuk itulah, penanganan terhadap masalah trafficking juga perlu
mengatasi masalah pengiriman tersebut. Sebab, banyak para calon TKI yang akan
berangkat ke luar negeri tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
bagaimana prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Kelengahan mereka
kemudian dimanfaatkan secara ekonomi namun tidak bertanggung jawab oleh
sejumlah agen, calo, atau jasa pengiriman TKI.
PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING !
Ada sejumlah cara yang
dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang amat pelik ini. Menurut laporan
Kementerian Koordinator Kesehateraan Rakyat pencegahan trafficking dapat
dilakukan melalaui beberapa cara. Pertama, pemetaan masalah perdagangan orang
di Indonesia, baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri. Kedua, peningkatan
pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan
perempuan, termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya. Ketiga,
peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya
tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait dengannya.
Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya
perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan
pendapatan dan pelayanan sosial. Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal,
tinggal bagaimana implementasinya secara nyata. Upaya tersebut juga memerlukan
keterlibatan seluruh sektor pemerintah, swasta, LSM, badan-badan internasional,
organisasi masyarakat, perseorangan, dan termasuk media massa.
Sebagai salah satu bentuk
implementasi dari cara-cara tersebut, kami mengambil contoh, langkah yang selama ini baru dilakukan oleh
Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY(contohnya) untuk meminimalisir
praktek trafficking adalah dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa
tentang tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mengantisipasi
praktek pemalsuan identitas yang kian marak terjadi dalam hal pengurusan
syarat-syarat TKI. Namun, sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru
melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif. Padahal, masih
banyak bentuk kegiatan lain yang bisa menyentuh masyarakat secara umum,
termasuk kaum perempuan di dalamnya yang rentan dengan trafficking.
Masyarakat secara umum sangat rawan
menjadi korban trafficking apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang
memadai tentang masalah ini. Untuk itulah, kami mengusulkan agar dilakukan
kampanye (sosialisasi) secara massif untuk menyebarluaskan informasi tentang
apa dan bagaimana praktek trafficking yang harus diwaspadai itu. Upaya
sosialisasi ini adalah bagian dari program pendidikan yang mampu memberdayakan
para calon TKI. Mereka perlu mendapatkan pengetahuan secara komprehensif
tentang tawaran kerja di mana dan bagaimana konsekuensinya.
Lebih lanjut, kami bahwa dengan
adanya pendidikan (training) tersebut, maka para calon TKI akan merasa aman
karena tidak adanya biaya-biaya yang menyusahkan mereka. Umumnya, praktek
trafficking bermula dari tindakan tidak bertanggung jawab sejumlah pihak (calo
TKI) yang merekrut calon TKI dengan iming-iming tertentu. Tentunya, para calon
TKI yang berasal dari pedesaan dan sedang dalam himpitan masalah ekonomi dengan
mudahnya menerima tawaran tersebut. Biasanya mereka hanya berpikir bahwa yang
penting dapat pekerjaan. Ketika merasa terjepit dalam masalah ekonomi, akhirnya
mereka menerima pekerjaan secara asal-asalan. Mereka kurang memerhatikan
bagaimana akibatnya kemudian.Ternyata sosialisasi saja tidak cukup. Andi Akbar
dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) mengatakan bahwa penanganan masalah
trafficking tidak cukup dalam bentuk penyadaran korban maupun pelaku, tetapi
harus menembus faktor-faktor penyebabnya. Menurutnya, trafficking dan
eksploitasi seks komersial anak antara lain didorong karena faktor kemiskinan,
ketidaksetaraan jender, sempitnya lapangan kerja, dan peningkatan konsumerisme.
Faktor-faktor seperti inilah yang juga perlu mendapatkan perhatian dan
diberantas hingga ke akar-akarnya. Sebab, tanpa memecahkan masalah-masalah
semacam itu, upaya penyadaran hanya berfungsi sesaat saja.Kita semua sepakat
bahwa pemberantasan masalah trafficking memerlukan adanya penegakan hukum yang
tegas, apalagi payung hukum berbentuk UU khusus sudah ada. Tanpa penegakan
hukum, pemberatasan masalah ini akan sia-sia saja. Sebab, pelaku trafficking
akan semakin leluasa saja. Peningkatan kasus trafficking ternyata tidak
diimbangi dengan penegakan hukum yang ketat. Pasalnya, hanya kurang dari 1
persen kasusnya yang dibawa ke pengadilan, mantan Ketua Panitia Khusus RUU
PTPPO, untuk memberi jera pada pelaku perdagangan manusia, UU tersebut
meningkatkan sanksi pidana hingga 15 tahun penjara dan denda ratusan juta
rupiah.
Semua kasus tindak
pidana trafficking diharapkan dapat diproses secara hukum dan diberi hukuman
yang seberat-beratnya. Hukuman selama lima tahun memang dirasa masih kurang.
Sehingga, penambahan masa hukuman penjara selama 15 tahun cukup fair mengingat
begitu beratnya kasus kejahatan yang diperbuat oleh para pelakunya. Hal ini dimaksudkan
agar para pelaku trafficking yang sudah atau belum tertangkap merasa jera dan
tidak mengulangi perbuatan yang melawan hukum itu.
Komentar
Posting Komentar